Belajar Computer Dunia Maya

Rabu, 22 Mei 2013

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA DALAM MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA DALAM MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN




Oleh:
Nazori Djazuli
C 561020084
E-mail : nazoryfish@hotmail.com






1. PENDAHULUAN

Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan/petani ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi, serta sumber devisa yang sangat potensial.

Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia terus menunjukkan laju kenaikan. Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan nilainya cenderung meningkat. Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998 menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 % pertahun (nilai) (Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta ton pertahun.




Pasar domestik cukup kuat, dari produksi perikanan 1998 tercatat 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Berdasarkan PROTEKAN 2003 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998 baru mencapai 19,25 kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan (26,55 kg/kapita/tahun) (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22 kg/kapita saja, pasar domestik masih memerlukan tambahan pasok ikan lebih 0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001). Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan saja tetapi juga oleh hasil budidaya. Bila dilihat dari produksi perikanan 4,7 juta ton, lebih dari 75 % dari produksi tersebut berasal dari penangkapan. Disisi lain dari sumberdaya ikan lestari (MSY) sebesar 6,2 juta ton/tahun produksi penangkapan hampir mendekati titik jenuh. Sedangkan potensi untuk perikanan budidaya masih sangat besar, dimana 4,29 juta ha hutan bakau yang ada 830.000 ha (20 %) dapat dimanfaatkan untuk budidaya air payau, perairan umum seluas 14 juta ha, dimana 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar belum lagi luasnya daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya (mina padi) serta perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut (Ditjen Perikanan, 1995).


Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia. Sedangkan tantangan yang akan terus dihadapi pada pasar dunia bagi komoditi ekspor perikanan budidaya adalah yang menyangkut mutu dan sanitasi (food safety) seperti masalah kandungan hormon dan antibiotik, bakteri patogen, racun hayati laut (biotoxyn), pestisida, dimana kandungan-kandungan ini berasal dari lingkungan budidaya serta masalah lain seperti gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu perlu meningkatkan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan bernilai tinggi serta menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) di unit-unit produksi yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL dan kelestarian lingkungan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan ekspor udang tambak.


Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).


2. PELUANG EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA


2.1. Peluang Sumber daya perikanan budidaya


Kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 diperkirakan oleh FAO, masih akan kekurangan pasok ikan sebesar 2 juta ton/tahun. Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan, namun harus dipasok oleh usaha budidaya.


Indonesia mempunyai peluang yang sangat baik untuk terus mengembangkan perikanan budidaya. Hal ini didukung dari data Ditjen Perikanan (1995), bahwa potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar khususnya untuk jenis-jenis ikan komersial seperti udang, kerapu, baronang, kakap putih, rumput laut, kerang-kerangan, paha kodok, bekicot dan lain-lainnya. Dengan areal hutan bakau seluas 830.000 ha dapat dimanfaatkan untuk pertambakan dengan potensi produksi 964.143 ton udang dan 308.275 ton ikan. Sedangkan dari perairan umum (waduk, danau, rawa, sungai, dan lainnya), 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar yang diperkirakan produksinya mencapai 800.000 – 900.000 ton pertahun, belum lagi daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya mina padi. Sedangkan perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dengan potensi produksi 46,73 ton pertahun yang terdiri dari ikan 1,08 juta ton, kerang-kerangan 45,171 juta ton dan rumput laut 482 ribu ton.


Secara umum permintaan terhadap komoditi perikanan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah udang, tuna/cakalang, rumput laut, kepiting, kerang-kerangan dan lain sebagainya. Sementara itu, meningkatnya permintaan ikan di pasaran dunia dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, bergesernya selera konsumen dari “red meat” ke “white meat” dan kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak seperti adanya penyakit Mad cow disease, Dioxin dan penyakit mulut dan kuku yang melanda hewan ternak di Eropa dan Amerika memberikan dampak positip pada peningkatan konsumsi ikan.


2.2. Peluang ekspor perikanan budidaya


Dari data statistik ekspor perikanan menurut negara tujuan tahun 2000 ke 91 negara, dimana secara keseluruhan dari tahun 1998 sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1.698.675 meningkat menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1.739.312 pada tahun 2000. Jumlah ekspor terbesar ditujukan ke jepang (50 %), Amerika (17 %), UE (13 %), Asia (20%) dan ASEAN (10 %). Sedangkan keragaman ekspor komoditi perikanan sebagian masih dalam bentuk utuh beku dan segar dimana sebagian pasar utamanya adalah Jepang (Ditjen Perikanan, 2000). Sedangkan dari data sertifat ekspor 1999 – 2000 (BPPMHP, 2000), hasil perikanan budidaya seperti kerapu, nila, udang dan rumput terjadi peningkatan ekspor pada komoditas ikan nila dan kerapu. Untuk ekspor ikan nila dalam bentuk utuh maupun fillet ditujukan kenegara seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan Singapura. Peningkatan ekspor pada ikan nila sangatlah meyakinkan di masa mendatang oleh karena daging nila umumnya berwarna putih dan dapat digunakan untuk pengganti produksi filet ikan kakap merah yang sebagai salah satu primadona perdagangan ikan internasional. Dengan demikian ikan nila telah menunjukkan kemantapan dengan perluasan pasar secara cepat di AS dan negara-negara Eropa. Sedangkan pada ikan kerapu ekspornya ditujukan kenegara Amerika, Australia, Hongkong, Taiwan, Inggris, Jepang dan Singapura.


Permintaan udang windu terus meningkat sedikitnya diatas harga US$ 15/ kg. Dilain pihak harga udang putih bergerak naik sekitar US$ 12/kg sedangkan harga udang Pandalus cenderung menurun mendekati US$ 6/kg (Seafood International, 2001). Sedangkan Jepang, Amerika dan Uni Eropa tetap merupakan negara pengimpor udang terbesar. Dilain pihak sumberdaya udang cenderung menurun dan hampir menunjukkan kepunahannya dialam/diperairan umum. Hal ini ditandai munculnya ukuran (size) pada udang-tangkap yang diekspor serta menurunnya jumlah tangkapan udang di laut.


Komoditas perikanan yang lain seperti rumput laut merupakan komoditi ekspor yang penting dari Indonesia, akan tetapi di ekspornya masih dalam bentuk bahan mentah yang kemudian di impor kembali dalam bentuk produk jadi. Eksplotasi rumput laut masih terbatas makro algae dimana alga dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan bukan sebagai bahan makanan utama. Konsumsi rumput laut per hari di Jepang adalah 10 gr orang/hari, sedangkan nilai komersial yang penting pada rumput laut adalah asam alginat dan turunannya focoidan dan laminaran untuk alga merah dan untuk alga coklat adalah agar dan carrageenan. Untuk kawasan ASEAN seperti Philipina, industri rumput laut berhasil memasukkan devisa sebesar US$ 670 juta per tahun yang bahan bakunya justru di Impor dari Indonesia. Dengan demikian peluang dan prospek pengembangan budidaya ikan nila, kerapu, udang dan rumput laut cukup besar pasarnya, namun kekewatiran masyarakat terhadap hasil perikanan budidaya juga semakin meningkat.


3. TANTANGAN EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA


Dengan adanya era globalisasi maka system perdagangan komoditi perikanan tidak hanya ditentukan oleh faktor “supply and demand” semata-mata, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang cenderung mengatur mekanisme perdagangan internasional komoditi perikanan.


Secara umum, masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan ekspor komoditi perikanan adalah tarif bea masuk yang dikenakan oleh negara pengimpor sangat bervariasi dari negara dan dari jenis ke jenis. Selain itu issu global seperti issu lingkungan, jaminan keamanan pangan (food safety) dan sebagainya, serta dimasukkannya perjanjian SPS (sanitary and phytosanitary) sebagai salah kesepakatan GATT putaran Uruguay, mempunyai tujuan memperlancar perdagangan hasil pertanian. Akan tetapi pada kenyataannya, dimanfaatkan oleh beberapa negara industri sebagai hambatan teknis (techincal barrier) dalam perdagangan, dengan tujuan untuk menyaring masuknya keomoditas pertanian dari luar.


Masalah lain sebagai tantangan ekspor komoditi perikanan Indonesia adalah adanya sinyalemen tentang kontaminasi ikan salmon oleh senyawa PCB (Polychlorinated biphenyl) dan dioxin yang sangat berbahaya sehingga menimbulkan animo masyarakat terhadap ikan salmon cenderung menurun. Hal ini tentu dapat saja terjadi bagi komdoditi perikanan Indonesia, dimana pencemaran dioksin (racun hayati laut) dari PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) juga melanda beberapa perairan Indonesia. Sedangkan masalah GMOs (Genetically Modified Organisms) dan LMOs (Living Modified Organisms) perlu dipertimbangkan, oleh karena berkembangnya rekayasa genetika. Masalah ini sering menjadi batasan import bagi Jepang dan UE. Sebagai contoh sering terjadi pada tuna kaleng yang menggunakan media minyak (kedele) yang berasal dari GMOs banyak yang ditolak oleh 2 negara tersebut.


Beberapa masalah utama yang dihadapi oleh komoditi perikanan budidaya adalah adanya :


1. Bakteri patogen : Salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh negara pengimpor maju pada komoditas perikanan adalah bebas dari bakteri patogen. Eropa mempersyaratkan udang beku (kecuali udang rebus beku) harus bebas dari bakteri Salmonella dan beberapa negara lain mempersyaratkan E. coli dan bakteri patogen. Penyebab masuknya bakteri tersebut adalah kurangnya sanitasi dan higiene dalam budidaya, sebagai contoh hasil pengujian BPPMHP (1997) menyebutkan dari kombinasi ikan nila dan ternak ayam (Longyam), positip mengandung Salmonella.


Selain itu, pada komoditi kekerangan, beberapa negara maju memberlakukan syarat yang lebih ketat terhadap masuknya impor kekerangan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah adanya standar sanitasi terhadap perairan untuk budidaya dan pengumpul. Dari hasil monitoring perairan untuk budidaya kerang yang dilakukan BPPMHP (1999), terjadi pencemaran bakteri V. parahaemolyticus diperairan Riau, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kandungan bakteri bervariasi 23 - <>Anadara dan Crassostrea yang ditangkap di teluk Jakarta, dimana kerang Anadara ditemukan Salmonella 52,3 %, Shigella 6,3 %, E. coli 8,3 %, Staphilococus 1 % dan V. parahaemolyticus 3 %. Sedangkan Crassostrea mengandung Salmonella 46 %, E. coli 16 %, Staphilococus 37,1 % dan V. parahaemolyticus 5,5 %.


Syarat lain adalah untuk kekerangan yang akan dipasarkan diharuskan melakukan purifikasi (pembersihan). Salah satu metode purifikasi (pembersihan) adalah depurasi, dari hasil uji coba depurasi dengan sinar U.V , selama 48 jam dapat menurunkan ALT dari 106 menjadi 103 serta E. coli <>


2. Marine biotoxin (racun hayati laut) : Selain mengandung bakteri patogen, beberapa komoditi perikanan dapat tercemar oleh adanya biotoxin. Hal ini disebabkan adanya alga yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Dari hasil monitoring BPPMHP (1999) perairan yang mengandung PSP > 80 Ug/100 gr adalah perairan Lampung dan Ambon. Oleh karena itu perairan tersebut tertutup untuk budidaya dan penangkapan. Sedangkan komoditasnya tidak boleh dijual atau diekspor. Biotoxin PSP, NSP, DSP, ASP umumnya terdapat pada kekerangan. Sedangkan CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dsb. Oleh karena itu pada ikan karang dan kekerangan yang akan diekspor, beberapa negara mempersyaratkan komoditas bebas dari dioksin.


3. Hormon, antibiotik, pestisida dan logam berat : Dengan dalih untuk meningkatkan keamanan pangan (food safety) pada produk perikanan yang beredar di pasaran, Eropa telah mengeluarkan peraturan kepada semua negara pengekspor ikan budidaya untuk menyampaikan program pengendalian dan monitoring residu hormon dan antibiotik. Bagi negara yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka izin ekspor ke UE akan dicabut. Dari hasil monitoring antibiotik yang dilakukan BPPMHP (2000) pada beberapa udang di tambak Jawa dan Lampung, dihasilkan udang positip mengandung antibitoik. Untuk itu perlu upaya pengendalian pengunaan antibiotik adalah dengan memberikan antibiotik (jika diperlukan) pada ikan/udang yang dibudidayakan. Sedangkan penen dapat dilakukan minimal 1 bulan setelah pemberian antibiotik untuk menghindari adanya residu. Untuk residu hormon dan pestisida sampai saat ini belum dilakukan pengujian. Sedangkan untuk logam berat BPPMHP (1999) telah melakukan monitoring dengan hasil logam berat (merquri) pada komoditas perikanan masih dibawah ambang batas (<>


4. Kampanye anti udang tambak : Dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, beberapa negara maju dan kelompok LSM yang tergabung dalam Global Aquaculture Alliance (GAA) telah mulai mengadakan kampanye anti udang tambak. Hal ini disebabkan karena pembuatan tambak udang dianggap merusak hutan bakau dan menggamggu kelestarian lingkungan. Untuk itu dalam upaya menangkal kampanye anti udang tambak, setiap pengembangan tambak selalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan atau AMDAL


Untuk menghadapi tantangan tersebut, kiat yang harus ditempuh oleh dalam menghadapi pasar global adalah dengan meningkatkan efisiensi mulai dari saat budidaya sampai pemasaran agar harga di pasar lebih kompetitif serta meningkatkan sistem pembinaan mutu (PMMT) yang mengacu pola HACCP yang secara resmi diakui oleh CAC/FAO/WHO.


4. PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN HACCP DI BUDIDAYA


Potensi bahaya (Hazard) dalam budidaya ikan/udang adalah berupa bahaya biologi, kimia dan fisik. Bahaya ini dapat setiap waktu masuk pada ikan/udang yang dibudidayakan dan pada pengolahan, seperti tercemarnya pakan oleh pestisida, tidak tepatnya penggunaan bahan kimia/obat-obatan,tercemarnya lingkungan budidaya oleh bakteri/virus, terjadinya kontaminasi selama pengolahan produk dan lain sebagainya. Hazard yang spesifik pada budidaya udang dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Contoh-contoh hazard pada produk budidaya





Kelompok Hazard


Contoh hazard



Biologi


Bakteri patogen


Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio









Cholerae, Vibrio parahaemolyticus,









Aeromonas hydrophilla, Listeria mono









cytogenes dan lain-lain






Parasit/protozoa


Parasit padaTrematoda,Cestoda/









Nematoda ( Clonorchis sinensis,









Anisakis dan lain-lain






Virus


Hepatitis A, Norwalk virus dll






Mycotoxin


Aflatoxin



Kimia


Residu obat


Hormon, antibiotik, pengatur tumbuh






Residu Pestisida


Herbisida, Fungisida, insektisida






Logam berat


Merkuri, cadmium, copper dll



Fisika





Kaca, kayu, rambut dll.



Sumber : FDA, 1998


Tabel 2. Potensi hazard pada beberapa ikan budidaya.





Komoditas


Potensi hazard



Udang tambak


Kimia


Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium






Obat-obatan


Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin



Tilapia/nila


Kimia


Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium






Obat-obatan


Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin



Kakap


Biologi


parasit anisakis, pseudoterranova, eustrongylides






Dioksin


PSP, DSP, NSP, ASP, CFP



Kerapu


Biologi


anisakis, pseudoterranova, eustrong-ylides






Dioksin


PSP, DSP, NSP, ASP, CFP



Sumber : SEAFDEC, 1997


Dari beberapa literatur potensi hazard dari Salmonella dan Vibrio dalam budidaya udang sering terjadi pertentangan. Dimana menurut Reilly and Twiddy (1992) dalam Mahony (1995), Salmonella dan Vibrio hidup pada bagian tumbuhan alam (plangton) di tambak udang. Namun dari penelitian Dalsgaard et al (1995) dalam Mahony (1995) tidak ditemukan secara nyata Salmonella pada udang maupun tambak udang. Sedangkan dari pengujian BPPMHP (1996) Salmonella positip ditemukan pada pakan ayam, kotoran ayam dan ikan yang memakan kotoran ayam. Dengan demikian Salmonella dapat masuk ke dalam udang/ikan yang dibudayakan, disebabkan dari suplai air dan pakan yang terkontaminasi. Beberapa contoh potensi hazard pada ikan/udang budidaya dapat dililhat pada Tabel 2.


Pemilihan lokasi/tempat


¯


suplai air


¯


Air ¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Lingkungan pemeliharaan


Pengeloaan ikan/udang ï¾¾® ¯


Kondisi kolam Produksi * *Persoalan penting di produksi :


Obat/bahan kimia ¯ Pengeloaan kolam, pemberian


Panen pakan dan kesehatan udang


¯


Penerimaan


¯


Pengolahan


¯


Penyimpanan


­ ¯


CCP Pengiriman


Gambar 1. Tahapan budidaya secara umum


Langkah-langkah penerapan HACCP di budidaya yaitu didahului dengan memenuhi kelayakan dasar (pre-requisite) budidaya. Kelayakan dasar ini berisi GCP (Good Culture Practices) yang mengatur kebersihan umum, pembesaran dan penanganan. Kebersihan umum meliputi kebersihan area, pembersihan peralatan sebelum dan sesudah digunakan dan kebersihan gudang penyimpanan. Sedangkan pembesaran dan penanganan meliputi catatat dalam menjaga dan menyediakan : air dan penggunaan air, pakan dan pemberian pakan, penyakit dan pengontrolan penyakit, obat-obatan dan bahan kimia dengan petunjuk penggunaan, waktu dan periode pemberian; teknik pasca panen, pembersihan produk dengan air bersih, temperatur produk, pencegahan kontaminasi selama panen, sortasi, transpotasi serta kelambatan penanganan seminim mungkin. Secara garis besarnya, alur proses budidaya terdiri dari pemilihan lokasi/tempat budidaya, suplai air, pengelolaan lingkungan ikan/udang yang dipelihara, produksi dan panen (Gambar 1).


Pada periode pemeliharaan udang, waktu pemeliharaan selama 3 – 4 bulan. Sedangkan tahapan yang dilakukan meliputi persiapan kolam (pengeringan, pengapuran, pembrantasan predator dan lain-lainnya), pemasukan air, penyediaan benih/benur, pemberian pakan, perawatan udang (antibiotik, bahan kimia dsb), penggantian air secara berkala, panen, sortasi, pengepakan dan transpotasi ke unit pengolahan. Titik-titik kritis (CCP) yang ada pada alur proses terjadi pada waktu pemeliharaan/pembesaran (growing), dimana pekerjaan yang terdapat pada tahap pemeliharaan adalah pengantian air, pengeloaan udang, kondisi kolam dan penggunaan obat/bahan kimia. Hazard yang potensial adalah Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Untuk itu perlu menguji penyebab hazard tersebut secara berkala, sedangkan tindakan koreksinya adalah dengan mentreatment atau mencegah hazard tersebut masuk kedalam tempat pemeliharaan. Hazard lain selama pembesaran adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan pada panen dilakukan secara manual dengan memberikan es pada udang-udang yang ditangkap,disortasi dan dipak dalam es, kemudian dikirim ke industri pengolahan. Hazard yang potensial adalah kontaminasi Salmonella dan adanya benda asing (kaca, rambut, kayu dsb). Generic hazard pada budidaya dapat dilihat Tabel 3.


Tabel 3. Generic HACCP untuk produksi udang budidaya





Tahapan produksi


Hazard


Di pantau oleh



Pemilihan lokasi


Kontaminasi kimia


Kelayakan dasar






Kontaminasi biologi






Pembesaran









- Kondisi kolam


Kontaminasi kimia


GMP



- Suplai air


Salmonella


CCP



- Pakan/pupuk


Salmonella


CCP



- Penggunaan bahan





CCP



Kimia/obat-obatan









Panen


Kontaminasi Salmonella


CCP






Kaca, kayu dll


CCP



Sumber : SEAFDEC, 1997


Dengan adanya HACCP pada unit budidaya yang dilaksanakan dengan konsisten, maka bahan baku yang diterima di unit pengolahan, sudah terjamin mutu dan keamanan. Dengan demikian segala tantangan yang menyangkut issu pada pasar internasional dapat diatasi.


IV. PENANGANAN DAN PENGOLAHAN


Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).


Dalam PROTEKAN 2004, komoditi unggulan untuk budidaya kedepan adalah kerapu, udang windu, nila dan rumput laut. Komdoditi tersebut merupakan komdoditi yang banyak diminati oleh negara importir. Berdasarkan data yang dihimpun dari sertifikat ekspor komoditi tersebut diolah dalam bentuk utuh segar/beku, fllet beku, ikan hidup dan rumput laut kering (Tabel 4).


Tabel 4. Jenis olahan dan negara importir komoditi kerapu, nila, udang dan rumput laut.





Jenis olahan


Negara tujuan


Volume (ton) tahun 2000



Kerapu hidup


Hongkong, Singapura, Jepang


454,66



Kerapu segar


Taiwan, RRC, Jepang, Singapura, Hongkong, Malaysia


4.374,54



Kerapu beku


USA, Hongkong, Australia, Inggris, Taiwan, Sinagpura


930,65



Fillet kerapu


Taiwan, Jepang, Singapura, Hongkong


165,01



Fillet nila


USA, Inggris, Singapura


70,69



Nila beku


USA, Kanada, Inggris, Bahrain, Jerman, Perancis


484,43



Udang


Eropa, USA, Jepang, Hongkong, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Belgia, kanada dsb


91.157,59



Rumput laut


Philipina, Jepang, USA Singapura, Hongkong


2.648,71



Sumber : Sertifat ekspor yang diterima BPPMHP.


Sampai saat ini, ekspor komoditi perikanan Indonesia, sebagian besar masih dalam bentuk utuh (bentuk primer) baik keadaan beku, segar atau hidup. Sedangkan disisi lain, permintaan komoditi perikanan yang mempunyai nilai tambah sangat besar terutama kepasaran Jepang, Amerika, Eropa dan China. Produk-produk budidaya yang banyak dikembangkan menjadi produk bernilai tambah masih didominasi oleh komoditas udang seperti bentuk peel devine boiled shrimp, breaded shrimp yang saat ini permintaannya semakin meningkat dari beberapa negara pengimpor seperti USA, Eropa dan Kanada.


Dari ekspor ikan budidaya seperti ikan nila, sampai saat ini baru dikembangkan dalam bentuk fillet dengan syarat bahan baku yang harus dipenuhi maksimal berukuran 600 gr up dalam keadaan hidup. Sedangkan pada pemasaran dalam negeri ikan nila (<>


Pengembangan rumput laut, sampai saat ini ekspornya masih dalam bentuk kering utuh, baik untuk rumput laut penghasil caragenan, agar maupun alginat. Hal ini dikarenakan permintaan pasar, sedangkan nilai tambah yang mungkin diperoleh dari rumput laut Euchema adalah dengan memproses menjadi ATC (Alkali Treat Cottonii). Hal ini adanya kecenderungan importir lebih menyukai rumput laut kering (tanpa perlakuan alkali). Sedangkan didalam negeri, Euchema banyak dijual dalam bentuk makanan seperti manisan, cendol, sirup dan lain, namun pemasarannya masih terbatas. Untuk rumput laut penghasil agar seperti Gracilaria dan Gilidium banyak dibutuhkan untuk memenuhi industri agar-agar dalam negeri baik untuk bentuk tepung, batang maupun kertas. Sedangkan untuk agar-agar penghasil alginat (Turbinaria, Sargasum dll) pemasarannya masih terbatas pada bentuk bahan beku kering.


V. KESIMPULAN


1. Peluang pengembangan bisnis perikanan diperkirakan akan terus membaik seiring dengan meningkatnya permintaan ikan dipasaran internasional, baik disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan maupun pergeseran pola konsumsi,kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak


2. Pasar domestik cukup kuat, tercatat dari produksi 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Sedangkan dari penangkapan ikan hampir mendakati titik jenuh. Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia.


3. Perdagangan ekspor komoditi perikanan cenderung semakin kompetitif. Disamping itu, ekspor komoditi perikanan juga dihadapkan pada berbagai hambatan tarif, food safety, issu lingkungan dan lain-lain. Sedangkan hambatan lainnya berkaitan dengan persyaratan mutu dan sanitasi dan gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Untuk itu produksi perikanan budidaya perlu menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL.


4. Potensi hazard pada budidaya ikan/udang adalah pada tahap pembesaran (growing) seperti adanya Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Hazard lain adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan saat panen hazard yang potensial adalah Salmonella dan adanya benda asing (kaca, kayu dsb).


5. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat) Sedangkan untuk rumput laut, dengan mempertimbangkan kebutuhan industri dalam negeri terhadap produk akhir rumput laut yang di import, maka perlu dikembangkan industri pengolahan rumput laut (caragenan, agar, alginat dll)


DAFTAR PUSTAKA


Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1994. Uji coba Depurasi, BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.


Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1997. Monitoring Salmonella pada ikan-ikan budidaya. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.


Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1999. Monitoring Sanitasi Kekerangan. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.


Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Promosi Peluang Usaha Di Bidang Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.


Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.


Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Ekspor Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.


Food and Drug Administration, 1998. Fish and Fisheries Products Hazards and Controls guide. Second edition. US-FDA. Rockville.


Kusumastanto, T., 2001. Potensi dan Peluang Industri Kelautan Indonesia. Makalah Seminar Peluang Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.


Mahony, 1995. HACCP in Aquaculture: Papers Prepared for PAEC/DOF. Seminar on Quality Assurance for Aquaculture Products. Queen Sirikit National Convention Centre, Bangkok.


Southeast Asian Fisheries Development Centre, 1997. Quality Management for Aquacultured Shrimp. SEAFDEC, Changi, Singapore.


Suboko, B., 2001. Kebutuhan Teknologi Pengolahan dan Delivery Bagi Pelaku Usaha Industri Perikanan Di Indonesia. Makalah Seminar Peluang Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan , Jakarta


Toyib, S., W. Martoyudo dan F. Suhadi., 1977. Beberapa Macam Bakteri Penyebab Penyakit Perut Manusia pada Kerang dalam Oceonologi di Indonesia No 7 Tahun 1977. LON-LIPI. Jakarta.

Kamis, 09 Mei 2013

CARA MEMBUAT RUMAH DARI STIK ES KRIM


Dumpuena Ilmu kali ini membagi tips bagaimana cara membuat rumah dari stik es krim. langsung saja karena gw gk pande basa basi...hehehehe...
Pertama persiapkan alat2 nya
  1. Stik Es Krim
  2. Lem saya disini menggunakan lem syetan
  3. Chater (pisau)
  4. Rol (penggaris)
  5. Kiki
  6. Kertas Cane (kertas Penghalus)
  7. Lampu & wayer
  8. Hambal
  9. Pohon2 mainan.
Untuk Lebih Lanjut Bisa Hub. 0852 60 8888 77



Rabu, 08 Mei 2013

JURNAL TENTANG IKAN NILA




I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Peningkatan permintaan ikan nila sebagai salah satu pilihan sumber protein hewani dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, serta di pasar internasional mendorong meningkatnya usaha budidaya ikan nila. Pada tahun 2004 Amerika Utara mengimpor nila sebesar 112.945 ton pada 2004, meningkat 25% dibandingkan pada tahun 2003 dan 68% dibandingkan produksi pada tahun 2002. Setengah dari impor Amerika Utara, dipasok oleh Cina, sedangkan sisanya oleh Taiwan, Thailand dan Indonesia (FAO 2004). Produksi nila nasional pada tahun 2004 sebesar 97.116 ton, dan kemudian meningkat sebesar 23,7% dalam kurun waktu 2004-2008 menjadi sebesar 220.900 ton (DKP 2008). Peningkatan produksi ini memposisikan Indonesia pada peringkat keempat negara produsen nila terbesar di dunia setelah Cina, Mesir dan Philipina. Dengan adanya kasus KHV (Koi Herpes Virus) pada ikan mas, nila menjadi alternatif ikan air tawar yang dibudidayakan masyarakat dan salah satu andalan dalam program revitalisasi perikanan. Perkembangan usaha budidaya ikan nila, sangat bergantung dengan pakan buatan yang dapat mendukung pertumbuhan ikan nila yang optimal, sehingga peningkatan kualitas pakan buatan menjadi suatu yang sangat penting.
Ikan nila mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan pakan buatan yang mengandung bahan-bahan dari tumbuhan (Fagbenro 1998; Olvera et al. 1997; E1-Sayed 1999; Fontainhas et al. 1999; Main et al. 2002; Ogunji dan Wirth 2000, Chimatiro dan Costa-Pierce 1996), bakteri (Beveridge et al. 1989), fitoplankton hijau (Pantastico et al. 1982). dan Spirulina (Lu dan Takeuchi 2004). Kemampuan dari ikan nila secara morfologi dan fisiologi untuk mencerna bahan pakan dengan kandungan serat tinggi membuka peluang untuk pengembangan pakan buatan ikan nila dengan menggunakan bahan pakan dari tepung daun dari berbagai jenis tanaman legumes seperti daun lamtoro (El Sayed 1999).

Untuk Lebih Lengkap Silahkan DOWNLOAD (file pdf)

Pangan Hewani sebagai Sumber Protein


Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk energi yang tiap gram protein menghasilkan sekitar 4.1 kkal (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Protein juga akan disimpan untuk digunakan dalam keadaan darurat selain untuk membangun struktur tubuh (pembentukan berbagai jaringan) sehingga pertumbuhan atau kehidupan dapat terus terjamin dengan baik.
Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Protein hewani termasuk kualitas lengkap dan protein nabati mempunyai nilai kualitas setengah sempurna atau protein tidak lengkap (Sediaoetama 2006). Protein sebagai pembentuk energi tergantung macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Nilai energi dan protein dalam tubuh dapat ditentukan dengan memperhatikan angka-angka protein tiap bahan makanan.

Untuk Lebih Lengkap Silahkan DOWNLOAD (file pdf)

Sabtu, 28 Januari 2012

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENANAMAN NILAI DAN PEMBIASAAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester VI
Mata Kuliah Ilmu Jiwa Agama (IJA)
Dosen Pengampu: Drs. H. A. Rif’an, M.PdI.

Oleh: Ahmad Saefudin

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Agama yang sumbernya pada nilai-nilai Qur’an semakin diperlukan oleh anak-anak kita, untuk mempersiapkan masa depannya yang lebih maju, kompleks, canggih, dan penuh tantangan. Mengapa anak-anak? Apakah orang dewasa tidak lagi membutuhkan pendidikan Agama wa bil khusus pendidikan Agama Islam?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sejenak berpaling pada pendapat Benyamin Spock yang mengatakan bahwa usia 0-12 tahun merupakan masa emas anak untuk dirangsang intelektual dan kreativitasnya, karena 80% perkembangan anak ditentukan pada usia tersebut. Hal ini sekali lagi bukan berarti kita menafikan keekfetifan pendidikan Agama Islam pada usia dewasa. Bukankah penyair Arab telah bersenandung, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di masa dewasa ibarat mengukir di atas air? Rasulullah sendiri telah berstatemen melalui sabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah; “Didiklah anak-anak kalian dan buatlah pendidikan mereka itu menjadi baik”.

Dari latar belakang ini, jelas bahwa penanaman pendidikan Agama Islam sangat efektif jika dilakukan pada usia anak-anak sehingga dewasa nanti akan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari (pembiasaan).

B. Pembatasan Masalah

Sebagai antisipasi penulis agar pembaca tidak mengalami ambigu dan supaya pembahasan lebih fokus, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Pendidikan : memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir. Dengan menarik lebih dalam, maka makna pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang dalam mendewasakan manusia.

2. Agama : sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu.

3. Islam : agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’anyang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.

4. Penanaman : berasal dari kata dasar tanam yang berarti menaburkan paham atau ajaran.

5. Pembiasaan : melakukan sesuatu seperti yang sudah-sudah.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain:

1. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai?
2. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan?

D. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai.
2. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan.
3. Sebagai pemenuhan tugas semester VI mata kuliah Ilmu Jiwa Agama yang diampu oleh Drs. H. A. Rif’an, M.PdI.

BAB II
ISI

A. Pendidikan Agama Islam dengan Penanaman Nilai

Anak-anak dengan segala potensi yang terpendam, perlu kita poles supaya benar-benar terbentuk kepribadian yang luhur. Konsep John Locke tentang tabularasa nya menggambarkan bahwa anak akan baik atau buruk tergantung lingkungan terdekatnya. Bisa jadi, orang tua, keluarga, atau masyarakat sekitar. Anak dianggap sebagai barang pasif yang tak punya kekuatan sehingga hanya bisa menerima apapun yang datang dari luar dirinya.

Berbeda dengan John Locke, Nabi Muhammad SAW mempunyai konsep bahwa anak yang lahir di dunia ini sudah membawa bekal dan potensi yang populer dengan istilah fitrah. Orang tua hanya meneruskan dan mengelola potensi ini.

Dari dua pandangan tokoh di atas, bisa kita tarik benang merah yaitu faktor penting lingkungan keluarga terutama orang tua dalam mendewasakan anak-anak mereka. Masa inilah yang seharusnya dimanfaatkan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Agama Islam.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Zakiah Darajat (1996) yang mengatakan bahwa “apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak benar, maka ketika menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat dia dewasa akan semakin merasakan kebutuhannya kepada agama”.

Kemudian bagaimana cara kita menanamkan pendidikan nilai pada anak-anak kita? Tentu saja jawabannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi juga bukan mustahil ketika kita mau mengusahakan dan melihat apa yang telah dituturkan oleh Trimo, S.Pd.,M.Pd dengan analisisnya; “setidaknya ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni (1) Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).

1. Pendekatan Penanaman Nilai

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.

2. Pendekatan Perkembangan Kognitif

Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutnya dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:

(1) Tahap “premoral” atau “preconventional”.

Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;

(2) Tahap “conventional”.

Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.

(3) Tahap “autonomous”.

Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi.

3. Pendekatan Analisis Nilai

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut:

Langkah Analisis Nilai Tugas Penyelesaian Masalah

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.Mengumpulkan fakta yang berhubungan Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan.

2. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.

3. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.

4. Merumuskan keputusan moral sementara Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.

5. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.

4. Pendekatan Klarifikasi Nilai

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini berpandangan bahwa isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini.

Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:

Pertama : Memilih

1. Dengan bebas.
2. Dari berbagai alternatif.
3. Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.

Kedua : Menghargai

4. Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya.
5. Mau mengakui pilihannya itu di depan umum.

Ketiga : Bertindak

6. Berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya.
7. Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978).
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.

Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.

Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.

B. Pendidikan Agama Islam dengan Pembiasaan.

Witeng tresno jalaran soko kulino. Demikian cetusan pepatah Jawa ini kerap menjadi pedoman bagi kita. Apapun pendidikan yang kita peroleh dan dari mana pun ilmu yang selama ini kita dapat, semuanya tiada guna jika tidak terbiasa untuk diimplementasikan. Al Ghazali dalam Ayyuhal Walad berkata bahwa inti sari dari ilmu adalah untuk diamalkan.

Lagi-lagi, peran orang tua sebagai lingkungan terdekat sangat mempengaruhi pembiasaan anak-anaknya dalam mengejawantahkan apapun yang telah ia dapat dari luar. Pembiasaan-pembiasaan perilaku seperti melaksanakan nilai-nilai ajaran agama Islam (beribadah), membina hubungan atau interaksi yang harmonis dalam keluarga, memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan nasehat merupakan hal yang senantiasa harus dilakukan oleh orang tua agar perilaku remaja yang menyimpang dapat dikendalikan.
An-Nahlawi (Dahlan : 1992) menyatakan bahwa metode pendidikan dan pembinaan akhlak yang perlu diterapkan oleh orang tua dalam kehidupan keluarga adalah sebagai berikut :

1. Metode hiwar (percakapan)
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).

Selain Al-Nahlawi, pakar pendidikan lain seperti Al-Ghazali juga menjelaskan (Abul Quasem : 1988) bahwa perubahan dan peningkatan akhlak dapat dicapai sepanjang melalui usaha dan latihan moral yang sesuai, untuk itu maka dalam mewujudkan akhlak yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu pengalaman (al-tajribah) dan latihan diri (riyadhah).

Secara teknis peran orang tua dalam membiasakan pendidikan Agama Islam di antaranya:

1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diperintahkan dalam ajaran agama Islam. Dalam hal ini orang tua harus menjadi contoh yang baik dengan memberikan bimbingan, arahan, serta pengawasan sehingga dengan kondisi seperti ini remaja menjadi terbiasa berakhlak baik.

2. Meningkatkan interaksi melalui komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini dituntut untuk dapat berperan sebagai motivator dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang positif yang dimiliki remaja sehingga perilaku atau akhlak remaja tidak menyimpang dari norma-norma baik norma agama, norma hukum maupun norma kesusilaan.

3. Meningkatkan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tua dalam melaksanakan seluruh fungsi keluarganya baik fungsi agama, fungsi pendidikan, fungsi keamanan, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial harus dilandasi dengan penanaman disiplin yang terkendali agar dapat mengendalikan akhlak atau perilaku.
Agama Islam sebagai sumber nilai akhlak harus dijadikan landasan oleh orang tua dalam membina akhlak karena agama merupakan pedoman hidup serta memberikan landasan yang kuat bagi diri. Di samping itu pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orang tua sehari-hari seperti sholat, membaca Al-Qur’an, menjalankan puasa serta berperilaku baik merupakan bagian penting dalam pembentukan dan pembinaan akhlak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melalui berbagai pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:

1. Pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai menggunakan beberapa pendekatan, yaitu melalui: (1) Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).

2. Metode Pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dapat dilakukan dengan cara:
1. Metode hiwar (percakapan).
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan :

a. Dalam mewujudkan pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan hendaknya dimaksimalkan oleh orang tua (lingkungan keluarga) dengan berbagai pendekatan yang ada.

b. Orang tua (keluarga) tak henti-hentinya meningkatkan pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dengan berbagai metode.

C. Kata Penutup

Demikian makalah ini dibuat. Semoga bisa menjadi tambahan wacana bagi kita terkait tentang pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan. Segala manfaat yang terserap semata hanya karena ridho-Nya, sedangkan kekhilafan yang ada murni hadir dari penulis. Saran krituk senantiasa terbuka sebagai acuan perbaikan tulisan ini. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Asfandiyar, Andi Yudha, Pendidikan Qur’ani Senantiasa Berpihak pada Anak, (http://keyanaku.blogspot.com).

Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: KARYA AGUNG, 2005.

Kania, Ikeu, Peranan Keluarga dalam Membina Akhlak Remaja, (http//friendster.com).

Trimo, Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan, (http://re-searchengines.com/0807trimo.html).

DumPueNa CARA

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management