Guru agama di sekolah merupakan salah satu komponen, dengan kemampuan dan keterbatasan yang ada, sering dimintai ’tanggung jawab’ berlebihan dan tidak proporsional. Kenakalan serta buruknya perilaku siswa seringkali dibebankan kepada guru agama tanpa mempertimbangkan faktor penyebab lainnya.
Hasil kesimpulan sebuah penelitian kompetensi guru Pendidikan Agama Islam yang berstatus Pegawai Negeri Sipil pada SLTP di delapan kota besar di Indonesia, yaitu Bandung, Surabaya, Makasar, Medan, Yogyakarta, Mataram, Pontianak dan Padang pada Mei –Desember 2004 sebagai berikut:
Kompetensi profesional guru Pendidikan Agama Islam SLTP pada 8 kota secara umum dapat disimpulkan:
Penguasaan guru Agama Islam terhadap materi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) termasuk kategori baik dengan skor rerata 74.
Kemampuan guru agama Islam dalam menulis ayat Al-Qur’an surat al-Alaq ayat 1-5, berada dalam kategori baik (B), namun belum sampai pada tingkat ideal. Karena dari 278 orang, yang mendapat nilai 100 atau mampu menulis dengan benar hanya 16 orang (6%), dan yang memperoleh skor 0 atau tidak bisa menulis surat al-Alaq sama sekali sebanyak 14 orang ((8,63%).
Pengetahuan tentang pengelolaan proses belajar mengajar, pengetahuan evaluasi dan pengukuran, serta pengetahuan tentang pengembangan kurikulum termasuk dalam kategori kurang, dengan rerata skor masing-masing 55, 79, 48, 29 dan skor rerata 49, 68.
Masa kerja kurang 5 tahun lebih bagus kompetensinya (dalam hal PMPAI, PPBM dan PK) dibanding dengan GPAI yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Kemungkinan hal tersebut disebabkan adanya kejenuhan bagi GPAI yang memiliki masa kerja yang lama.
Kompetensi individual guru agama Islam secara umum termasuk dalam kategori baik dengan skor rerata 70.78. kondisi ini menunjukkan bahwa guru-guru agama Islam yang mengajar di SLTP memiliki komitmen yang baik terhadap tugas dan profesinya.
Kompetensi sosial guru agama Islam secara umum termasuk dalam kategori baik dengan rerata skor 72.18. ini menunjukkan bahwa guru-guru agama Islam yang mengajar di SMP mampu berinteraksi dan bekerjasama serta beradaptasi dengan lingkungannya, baik dengan lingkungan sosial intern sekolah maupun luar sekolah, dan kemampuan ini diharapkan dapat mendukung keberhasilan pendidikan agama Islam. (Nurhayati Djamas, 2005)
Ahmad Tafsir ’memotret’ guru agama yang sedang mengajar di sekolah, terutama di sekolah umum, sekalipun tidak secara keseluruhan, ada gejala sebagai berikut uraiannya : ”Siswa tidak serius, main-main, tidak lebih serius daripada mengikuti pelajaran lain. Siswa tertawa-tawa, bahkan gurunya juga. Guru mengucapkan salam. Siswa menjawab dengan cara bermacam-macam. Sulit menggambarkannya di sini, tetapi jelas ada yang tidak sungguh-sungguh. Mungkin juga karena gurunya dalam mengucapkan salam kurang sungguh-sungguh. Padahal salam itu adalah doa; doa haruslah diucapkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan saya mengetahui ada siswa yang sementara mengikuti pelajaran agama, ia membaca buku pelajaran lain, main-main dengan temannya, lempar-melempar kertas yang bertulisan, makan permen, dan lain-lain.
Terkadang siswa serius dalam mengikuti pelajaran Matematika, IPA, dan sebagainya, tetapi tidak serius dalam mengikuti pelajaran agama. Tatkala Anda sedang mengajar, ada anak yang tidak ribut, tetapi melamun, dan tiba-tiba Anda bertanya ”Coba kamu, Bapak (Ibu) tadi sedang menjelaskan apa?” Anak yang tidak serius itu tentu tidak akan dapat menjawabnya. Tidak menjawab sebenarnya tidak mengapa, bukan masalah besar, tetapi gejala lain muncul, yaitu ia tidak merasa menyesal tidak mampu menjawab; tidak mampu menjawab dianggapnya biasa-biasa saja. Yang seperti ini sebenarnya dapat diartikan kurang menghargai guru agama. Penghinaan kepada guru agama (bahkan kepada agama) muncul juga dalam gejala lain. Umpamanya, waktu masih panjang, anak-anak telah mengucapkan amin. Atau kalau Anda menyebutkan kata-kata yang menggunakan al, misalnya al-kitab, al-qamar, al-madrasah, lantas mereka mengucapkan alkohol, almari, albatros, dan lain-lain yang dapat diartikan kurang menghargai agama dan guru agama”. (Ahmad Tafsir, 2004)
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengetahuan guru PAI, meski tidak semuanya, memiliki kekurangan tentang pengelolaan proses belajar mengajar, pengetahuan evaluasi dan pengukuran, serta pengetahuan tentang pengembangan kurikulum. Kekurangan ini perlu mendapat perhatian serius, terutama oleh pemerintah, sekolah dan termasuk juga oleh guru PAI. Jika tidak ada pembenahan dari kekurangan di atas, tujuan matapelajaran PAI tidak terwujud sepenuhnya.
Ada 2 tujuan dari Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP/MTs yaitu, pertama, menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 tahun 2006)
Bagi guru PAI, 2 tujuan inilah yang seyogyanya menjadi fokus perhatian dalam mengemban tugasnya. Dari tujuan ini, diturunkan ke tingkat operasional sehingga muncul standar kompetensi dan kompetensi dasar bagi para siswanya. Sadar tujuan saja tidaklah cukup, perlu ada upaya atau proses yang mengantar ke arah sana. Proses inilah yang mau tidak mau perlu melibatkan kreativitas guru agama agar tujuan PAI tercapai, atau paling tidak mendekati tujuan.
Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan. (Asrorun Niam, 2006) Tugas pokok guru adalah mengajar dan mendidik sekaligus. Dalam kaitan ini perlu disadari bahwa pada setiap mata pelajaran yang diajarkan harus membawa misi pendidikan dan kejujuran. Tugas guru agama di samping harus dapat memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama tersebut. Ketika seorang guru mengajarkan salat misalnya, ia tidak hanya mengajarkan siswa agar paham terhadap pengetahuan tentang salat dan mempraktikkannya secara benar, tetapi bersamaan dengan itu dengan salat tersebut diharapkan akan tumbuh jiwa dan kepribadian anak yang selalu bersyukur kepada Allah, patuh dan tunduk, disiplin, senantiasa ingat kepada Allah yang selanjutnya terpelihara dirinya dari perbuatan yang keji dan munkar. (Abudin Nata,2001)
Pembelajaran di sekolah dipengaruhi oleh guru, siswa, sistem dan lingkungan masyarakat serta keluarga. Guru agama merupakan salah satu komponen dengan kemampuan dan keterbatasan yang ada sering dimintai ’tanggung jawab’ berlebihan dan tidak proporsional. Jika ada siswa nakal, bikin onar, guru agama mendapat ’pesanan’ untuk menyelesaikannya dalam penyampaian matapelajaran misalnya.
Pada dasarnya, menurut hemat penulis matapelajaran PAI tidak perlu dipelajari di sekolah, jika pertama, semua matapelajaran sekolah dijiwai oleh pendidikan agama. Kedua, berfungsinya keluarga sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga memperkenalkan kepada anaknya dasar-dasar keagamaan, bahkan semenjak di dalam kandungan. Ketiga, adanya jalinan kerjasama antara sekolah dengan institusi sosial keagamaan seperti masjid, pesantren, majlis ta’lim, surau, tempat pengajian misalnya. Materi dan standar pelajarannya disepakati bersama.
Pengandaian di atas tidaklah berjalan, karena kesempatan yang terbatas, ketidakmauan atau ketidakmampuan keluarga dalam mendidik anak-anaknya, maka maksimalisasi pelajaran PAI di sekolah menjadi pilihan yang menantang. Mengapa? Karena pertama, kejenuhan atas materi yang diulang-ulang dalam pelajaran. Ini bisa dilihat dari dari isi kurikulum PAI mulai SD, SLTP dan SLTA meski dengan sedikit fokus perluasan dan pendalaman yang berbeda. Apalagi bagi siswa yang belajar di Sekolah Agama (Madrasah Diniyah). Kedua, perhatian pelajar-apalagi yang kelas 3- lebih terpusat pada pelajaran yang menjadi ujian nasional. PAI bisa dianggap tidak menjadi skala prioritas matapelajaran penting. Hal ini pun seyogyanya menjadi perhatian manajemen sekolah, guru, orangtua/murid dan pemerintah. Ketiga, krisis kepercayaan siswa terhadap matapelajaran PAI dan gurunya. Para siswa melihat kenyataan di masyarakat, banyak terjadi kesenjangan yang tajam antara idealitas dan realitas agama. Elit sosial, ekonomi, agama, politik dan pendidikan misalnya, telah melakukan ketidakjujuran, kecurangan, berselisih paham agama bahkan konflik atas nama agama. Keempat, suasana dan metode belajar yang monoton sehingga terasa membosankan bagi siswa. Keberadaan guru di kelas-baik kelas terbuka di alam atau tertutup di sekolah- ditantang untuk membangun kelas yang dinamis (hidup), variatif, menarik, menyenangkan dan bergairah. Tidak ada satu cara paling tepat di kelas, melainkan gurulah yang lebih mengetahui dengan target materi, suasana kelas, keragaman karakter, potensi dan minat siswa.
Menurut Zakiah Daradjat, setiap orang yang akan melaksanakan tugas guru harus punya kepribadian. Di samping punya kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam, guru agama lebih dituntut lagi untuk mempunyai kepribadian guru. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani oleh murid-muridnya. Penampilannya dalam mengajar harus meyakinkan dan tindak tanduknya akan ditiru dan diteladani. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, ia harus tabah dan tahu cara memecahkan berbagai kesulitan dalam tugasnya sebagai pendidik. Ia juga mau dan rela serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar.
Sebagai manusia biasa, secara pribadi guru tidak terlepas dari berbagai kesulitan hidup, baik dalam hubungan rumah tangga, dalam pergaulan sosial, dalam masalah ekonomi, dalam masalah kesejahteraan, ataupun dalam masalah apa saja yang akan mengganggu kelancaran tugasnya dalam proses belajar mengajar. Sebagai guru ia harus tabah menghadapi berbagai kesulitan, harus tahu dan dapat memecahkan berbagai kesulitan itu, terutama yang erat hubungannya dengan kegiatan pengajaran. Jangan sampai kesulitan itu menghalangi atau mengganggu kegiatan pengajaran.
Dalam proses belajar mengajar, murid pun tidak lepas dari berbagai kesulitan. Setiap murid tumbuh dan berkembang menurut kodrat yang ada padanya. Ia belajar dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuannya, kecerdasan dan keterampilannya yang berbeda antara seorang murid dan murid lainnya. Pada hakikatnya ia belajar sesuai dengan individunya masing-masing.(Zakiah Darajat,2001)
Menjadi guru kreatif
Sehebat-hebatnya kurikulum, di tangan gurulah yang banyak mewarnai proses pembelajaran sebuah mata pelajaran, termasuk PAI SLTP yang meliputi: Al-Qur’an dan Hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqih serta Tarikh dan Kebudayaan Islam. Kekayaan metodologi dan kreativitas menjadi niscaya bagi seorang guru, selain keteladanan moral dan kepribadian guru, apalagi guru PAI menjadi representatif moralitas keagamaan yang diajarkannya. Sedikit atau banyak, guru agama sering dijadikan acuan moral kepribadian bagi siswa dan guru-guru yang lain.
Kreativitas pada intinya merupakan kemampuan seseorang melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam ciri-ciri aptitude maupun non-aptitude, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. (Reni Akbar, 2001)
Menjadi guru kreatif tidaklah terbentuk secara tiba-tiba, melainkan lahir dari proses pergumulan dengan ruang dan waktu seiring pengalaman yang dilaluinya. Guru yang kreatif artinya guru yang memiliki daya cipta, misalnya dalam menyiapkan metode, perangkat, media dan muatan materi pembelajaran. Dari kreativitas guru tersebut, akan menular pada siswa secara jangka pendek maupun panjang. Karena siswa -disadari atau tidak- cenderung belajar dari aktivitas dan kreativitas gurunya dalam proses pembelajaran. Kegiatan belajar yang variatif, dapat merangsang semangat dan rasa penasaran siswa untuk belajar PAI.
Guru perlu membuat keterbukaan komunikasi dengan siswanya. Sebelum pelajaran PAI dimulai pada tahun ajaran baru, seyogyanya guru melakukan ’kontrak belajar’ dengan siswa. Guru memposisikan cara pandang bersama terhadap aktivitas di kelas sebagai relasi dan komunikasi di kelas adalah saling belajar. Kontrak belajar ini meliputi kenalan, curah harapan dan pendapat atas pelajaran PAI serta membangun kesepakatan dan kesepahaman kolektif antara guru dan siswa, seperti tentang cara dan tempat belajar misalnya.
Membangun kreativitas guru membutuhkan proses, ia tidaklah lahir tiba-tiba, ada proses yang mengawalinya seperti: pertama, belajar dari pengalaman mengajar, baik diperoleh dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman guru lain. Guru dapat belajar dan merefleksikan perjalanan proses belajar mengajarnya ke dalam praktik pembelajaran bersama siswa. Kedua, rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam terhadap murid-muridnya agar mereka menjadi manusia ideal di masa yang akan datang. Cinta adalah energi kehidupan. Cinta merupakan sumber pemicu yang kuat atas lahirnya kreativitas. Jika ada cinta dan kasih sayang, maka rasa dan jiwa guru terlibat dalam proses pengajaran dan pendidikannya sehingga totalitas kinerja guru lahir. Perasaan siswa dapat menangkap cinta kasih gurunya sehingga terjalin hubungan psikologis antara siswa dan guru. Ketiga, adanya tanggung jawab yang mendalam terhadap tugasnya. Keempat, guru giat belajar untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kepribadian dan keterampilannya yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru.
Guru agama juga seyogyanya cermat melihat pluralitas agama/kepercayaan di sekolah yang terdapat perbedaan agama dan kepercayaan yang dianut oleh siswanya; Islam, Kristen, Konghucu, Budha, Hindu misalnya. Keberagaman ini dapat menjadi potensi kemajuan sekaligus potensi permusuhan. Sang guru tentunya dapat memaksimalisasi potensi kemajuan dan meminimalisasi potensi permusuhan. Bagaimana pun perbedaan ini adalah sebuah kenyataan sosial, jika tidak pandai mensikapinya dapat mengancam keutuhan persaudaraan setanah air.
Kekayaan perbedaan agama dan kepercayaan dapat menjadi bahan untuk saling belajar tentang perbandingan agama; yang dibandingkan sejarah kelahiran agama, persamaan dan perbedaannya, misalnya. Berbagi rasa beragama tentang spiritualitas agama dapat membangun solidaritas kemanusiaan untuk bekerja sama membangun dunia yang lebih baik.
Teks-teks keagamaan seperti kitab suci, banyak memuat ajaran agama berupa perintah, anjuran dan larangan. Dalam waktu yang sangat terbatas 2 jam per minggu, tentu saja ada upaya pemilahan, pemilihan dan penundaan ajaran yang disampaikan. Upaya inilah yang menjadi ’perebutan kepentingan’ politik pendidikan. Mengapa tema A ada di kurikulum dan mengapa Tema B, tidak ada di kurikulum? Mengapa tema C di kelas 1 dan mengapa tema D di kelas 3? Pertanyaan ini bagian dari pergulatan proses pembuatan kurikulum.
Dengan diberlakukannya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), membuka ruang yang cukup luas bagi guru untuk melakukan penafsiran dan pengayaan materi, meskipun yang membuat soal semester tetap bukan dirinya sendiri. Ruang kreativitas guru pun perlu dirangsang dan difasilitasi oleh pihak manajemen sekolah dan pemerintah. Dalam hal-hal tertentu, kreativitas memerlukan bahan yang sedikit banyak membutuhkan dana. Pihak sekolah atau pemerintah perlu menyediakan dana dan penghargaan bagi guru-guru yang kreatif. Guru kreatif akan melahirkan siswa yang kreatif dan guru yang cerdas akan melahirkan siswa yang cerdas. Guru kreatif dan cerdas ini perlu banyak dilahirkan dengan penciptaan sistem, situasi dan kondisi yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan guru yang kreatif dan cerdas. Peningkatan kesejahteraan guru, kualitas kualifikasi dan kompetensi dan karier dipandang dapat mengembangkan kreativitas guru.*** (M. Ayi Fahmi Karim Guru PAI di SLTP Pabuaran, Subang, Jawa Barat)
Kompetensi profesional guru Pendidikan Agama Islam SLTP pada 8 kota secara umum dapat disimpulkan:
Penguasaan guru Agama Islam terhadap materi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) termasuk kategori baik dengan skor rerata 74.
Kemampuan guru agama Islam dalam menulis ayat Al-Qur’an surat al-Alaq ayat 1-5, berada dalam kategori baik (B), namun belum sampai pada tingkat ideal. Karena dari 278 orang, yang mendapat nilai 100 atau mampu menulis dengan benar hanya 16 orang (6%), dan yang memperoleh skor 0 atau tidak bisa menulis surat al-Alaq sama sekali sebanyak 14 orang ((8,63%).
Pengetahuan tentang pengelolaan proses belajar mengajar, pengetahuan evaluasi dan pengukuran, serta pengetahuan tentang pengembangan kurikulum termasuk dalam kategori kurang, dengan rerata skor masing-masing 55, 79, 48, 29 dan skor rerata 49, 68.
Masa kerja kurang 5 tahun lebih bagus kompetensinya (dalam hal PMPAI, PPBM dan PK) dibanding dengan GPAI yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Kemungkinan hal tersebut disebabkan adanya kejenuhan bagi GPAI yang memiliki masa kerja yang lama.
Kompetensi individual guru agama Islam secara umum termasuk dalam kategori baik dengan skor rerata 70.78. kondisi ini menunjukkan bahwa guru-guru agama Islam yang mengajar di SLTP memiliki komitmen yang baik terhadap tugas dan profesinya.
Kompetensi sosial guru agama Islam secara umum termasuk dalam kategori baik dengan rerata skor 72.18. ini menunjukkan bahwa guru-guru agama Islam yang mengajar di SMP mampu berinteraksi dan bekerjasama serta beradaptasi dengan lingkungannya, baik dengan lingkungan sosial intern sekolah maupun luar sekolah, dan kemampuan ini diharapkan dapat mendukung keberhasilan pendidikan agama Islam. (Nurhayati Djamas, 2005)
Ahmad Tafsir ’memotret’ guru agama yang sedang mengajar di sekolah, terutama di sekolah umum, sekalipun tidak secara keseluruhan, ada gejala sebagai berikut uraiannya : ”Siswa tidak serius, main-main, tidak lebih serius daripada mengikuti pelajaran lain. Siswa tertawa-tawa, bahkan gurunya juga. Guru mengucapkan salam. Siswa menjawab dengan cara bermacam-macam. Sulit menggambarkannya di sini, tetapi jelas ada yang tidak sungguh-sungguh. Mungkin juga karena gurunya dalam mengucapkan salam kurang sungguh-sungguh. Padahal salam itu adalah doa; doa haruslah diucapkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan saya mengetahui ada siswa yang sementara mengikuti pelajaran agama, ia membaca buku pelajaran lain, main-main dengan temannya, lempar-melempar kertas yang bertulisan, makan permen, dan lain-lain.
Terkadang siswa serius dalam mengikuti pelajaran Matematika, IPA, dan sebagainya, tetapi tidak serius dalam mengikuti pelajaran agama. Tatkala Anda sedang mengajar, ada anak yang tidak ribut, tetapi melamun, dan tiba-tiba Anda bertanya ”Coba kamu, Bapak (Ibu) tadi sedang menjelaskan apa?” Anak yang tidak serius itu tentu tidak akan dapat menjawabnya. Tidak menjawab sebenarnya tidak mengapa, bukan masalah besar, tetapi gejala lain muncul, yaitu ia tidak merasa menyesal tidak mampu menjawab; tidak mampu menjawab dianggapnya biasa-biasa saja. Yang seperti ini sebenarnya dapat diartikan kurang menghargai guru agama. Penghinaan kepada guru agama (bahkan kepada agama) muncul juga dalam gejala lain. Umpamanya, waktu masih panjang, anak-anak telah mengucapkan amin. Atau kalau Anda menyebutkan kata-kata yang menggunakan al, misalnya al-kitab, al-qamar, al-madrasah, lantas mereka mengucapkan alkohol, almari, albatros, dan lain-lain yang dapat diartikan kurang menghargai agama dan guru agama”. (Ahmad Tafsir, 2004)
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengetahuan guru PAI, meski tidak semuanya, memiliki kekurangan tentang pengelolaan proses belajar mengajar, pengetahuan evaluasi dan pengukuran, serta pengetahuan tentang pengembangan kurikulum. Kekurangan ini perlu mendapat perhatian serius, terutama oleh pemerintah, sekolah dan termasuk juga oleh guru PAI. Jika tidak ada pembenahan dari kekurangan di atas, tujuan matapelajaran PAI tidak terwujud sepenuhnya.
Ada 2 tujuan dari Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP/MTs yaitu, pertama, menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 tahun 2006)
Bagi guru PAI, 2 tujuan inilah yang seyogyanya menjadi fokus perhatian dalam mengemban tugasnya. Dari tujuan ini, diturunkan ke tingkat operasional sehingga muncul standar kompetensi dan kompetensi dasar bagi para siswanya. Sadar tujuan saja tidaklah cukup, perlu ada upaya atau proses yang mengantar ke arah sana. Proses inilah yang mau tidak mau perlu melibatkan kreativitas guru agama agar tujuan PAI tercapai, atau paling tidak mendekati tujuan.
Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan. (Asrorun Niam, 2006) Tugas pokok guru adalah mengajar dan mendidik sekaligus. Dalam kaitan ini perlu disadari bahwa pada setiap mata pelajaran yang diajarkan harus membawa misi pendidikan dan kejujuran. Tugas guru agama di samping harus dapat memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama tersebut. Ketika seorang guru mengajarkan salat misalnya, ia tidak hanya mengajarkan siswa agar paham terhadap pengetahuan tentang salat dan mempraktikkannya secara benar, tetapi bersamaan dengan itu dengan salat tersebut diharapkan akan tumbuh jiwa dan kepribadian anak yang selalu bersyukur kepada Allah, patuh dan tunduk, disiplin, senantiasa ingat kepada Allah yang selanjutnya terpelihara dirinya dari perbuatan yang keji dan munkar. (Abudin Nata,2001)
Pembelajaran di sekolah dipengaruhi oleh guru, siswa, sistem dan lingkungan masyarakat serta keluarga. Guru agama merupakan salah satu komponen dengan kemampuan dan keterbatasan yang ada sering dimintai ’tanggung jawab’ berlebihan dan tidak proporsional. Jika ada siswa nakal, bikin onar, guru agama mendapat ’pesanan’ untuk menyelesaikannya dalam penyampaian matapelajaran misalnya.
Pada dasarnya, menurut hemat penulis matapelajaran PAI tidak perlu dipelajari di sekolah, jika pertama, semua matapelajaran sekolah dijiwai oleh pendidikan agama. Kedua, berfungsinya keluarga sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga memperkenalkan kepada anaknya dasar-dasar keagamaan, bahkan semenjak di dalam kandungan. Ketiga, adanya jalinan kerjasama antara sekolah dengan institusi sosial keagamaan seperti masjid, pesantren, majlis ta’lim, surau, tempat pengajian misalnya. Materi dan standar pelajarannya disepakati bersama.
Pengandaian di atas tidaklah berjalan, karena kesempatan yang terbatas, ketidakmauan atau ketidakmampuan keluarga dalam mendidik anak-anaknya, maka maksimalisasi pelajaran PAI di sekolah menjadi pilihan yang menantang. Mengapa? Karena pertama, kejenuhan atas materi yang diulang-ulang dalam pelajaran. Ini bisa dilihat dari dari isi kurikulum PAI mulai SD, SLTP dan SLTA meski dengan sedikit fokus perluasan dan pendalaman yang berbeda. Apalagi bagi siswa yang belajar di Sekolah Agama (Madrasah Diniyah). Kedua, perhatian pelajar-apalagi yang kelas 3- lebih terpusat pada pelajaran yang menjadi ujian nasional. PAI bisa dianggap tidak menjadi skala prioritas matapelajaran penting. Hal ini pun seyogyanya menjadi perhatian manajemen sekolah, guru, orangtua/murid dan pemerintah. Ketiga, krisis kepercayaan siswa terhadap matapelajaran PAI dan gurunya. Para siswa melihat kenyataan di masyarakat, banyak terjadi kesenjangan yang tajam antara idealitas dan realitas agama. Elit sosial, ekonomi, agama, politik dan pendidikan misalnya, telah melakukan ketidakjujuran, kecurangan, berselisih paham agama bahkan konflik atas nama agama. Keempat, suasana dan metode belajar yang monoton sehingga terasa membosankan bagi siswa. Keberadaan guru di kelas-baik kelas terbuka di alam atau tertutup di sekolah- ditantang untuk membangun kelas yang dinamis (hidup), variatif, menarik, menyenangkan dan bergairah. Tidak ada satu cara paling tepat di kelas, melainkan gurulah yang lebih mengetahui dengan target materi, suasana kelas, keragaman karakter, potensi dan minat siswa.
Menurut Zakiah Daradjat, setiap orang yang akan melaksanakan tugas guru harus punya kepribadian. Di samping punya kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam, guru agama lebih dituntut lagi untuk mempunyai kepribadian guru. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani oleh murid-muridnya. Penampilannya dalam mengajar harus meyakinkan dan tindak tanduknya akan ditiru dan diteladani. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, ia harus tabah dan tahu cara memecahkan berbagai kesulitan dalam tugasnya sebagai pendidik. Ia juga mau dan rela serta memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar.
Sebagai manusia biasa, secara pribadi guru tidak terlepas dari berbagai kesulitan hidup, baik dalam hubungan rumah tangga, dalam pergaulan sosial, dalam masalah ekonomi, dalam masalah kesejahteraan, ataupun dalam masalah apa saja yang akan mengganggu kelancaran tugasnya dalam proses belajar mengajar. Sebagai guru ia harus tabah menghadapi berbagai kesulitan, harus tahu dan dapat memecahkan berbagai kesulitan itu, terutama yang erat hubungannya dengan kegiatan pengajaran. Jangan sampai kesulitan itu menghalangi atau mengganggu kegiatan pengajaran.
Dalam proses belajar mengajar, murid pun tidak lepas dari berbagai kesulitan. Setiap murid tumbuh dan berkembang menurut kodrat yang ada padanya. Ia belajar dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuannya, kecerdasan dan keterampilannya yang berbeda antara seorang murid dan murid lainnya. Pada hakikatnya ia belajar sesuai dengan individunya masing-masing.(Zakiah Darajat,2001)
Menjadi guru kreatif
Sehebat-hebatnya kurikulum, di tangan gurulah yang banyak mewarnai proses pembelajaran sebuah mata pelajaran, termasuk PAI SLTP yang meliputi: Al-Qur’an dan Hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqih serta Tarikh dan Kebudayaan Islam. Kekayaan metodologi dan kreativitas menjadi niscaya bagi seorang guru, selain keteladanan moral dan kepribadian guru, apalagi guru PAI menjadi representatif moralitas keagamaan yang diajarkannya. Sedikit atau banyak, guru agama sering dijadikan acuan moral kepribadian bagi siswa dan guru-guru yang lain.
Kreativitas pada intinya merupakan kemampuan seseorang melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam ciri-ciri aptitude maupun non-aptitude, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. (Reni Akbar, 2001)
Menjadi guru kreatif tidaklah terbentuk secara tiba-tiba, melainkan lahir dari proses pergumulan dengan ruang dan waktu seiring pengalaman yang dilaluinya. Guru yang kreatif artinya guru yang memiliki daya cipta, misalnya dalam menyiapkan metode, perangkat, media dan muatan materi pembelajaran. Dari kreativitas guru tersebut, akan menular pada siswa secara jangka pendek maupun panjang. Karena siswa -disadari atau tidak- cenderung belajar dari aktivitas dan kreativitas gurunya dalam proses pembelajaran. Kegiatan belajar yang variatif, dapat merangsang semangat dan rasa penasaran siswa untuk belajar PAI.
Guru perlu membuat keterbukaan komunikasi dengan siswanya. Sebelum pelajaran PAI dimulai pada tahun ajaran baru, seyogyanya guru melakukan ’kontrak belajar’ dengan siswa. Guru memposisikan cara pandang bersama terhadap aktivitas di kelas sebagai relasi dan komunikasi di kelas adalah saling belajar. Kontrak belajar ini meliputi kenalan, curah harapan dan pendapat atas pelajaran PAI serta membangun kesepakatan dan kesepahaman kolektif antara guru dan siswa, seperti tentang cara dan tempat belajar misalnya.
Membangun kreativitas guru membutuhkan proses, ia tidaklah lahir tiba-tiba, ada proses yang mengawalinya seperti: pertama, belajar dari pengalaman mengajar, baik diperoleh dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman guru lain. Guru dapat belajar dan merefleksikan perjalanan proses belajar mengajarnya ke dalam praktik pembelajaran bersama siswa. Kedua, rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam terhadap murid-muridnya agar mereka menjadi manusia ideal di masa yang akan datang. Cinta adalah energi kehidupan. Cinta merupakan sumber pemicu yang kuat atas lahirnya kreativitas. Jika ada cinta dan kasih sayang, maka rasa dan jiwa guru terlibat dalam proses pengajaran dan pendidikannya sehingga totalitas kinerja guru lahir. Perasaan siswa dapat menangkap cinta kasih gurunya sehingga terjalin hubungan psikologis antara siswa dan guru. Ketiga, adanya tanggung jawab yang mendalam terhadap tugasnya. Keempat, guru giat belajar untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kepribadian dan keterampilannya yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru.
Guru agama juga seyogyanya cermat melihat pluralitas agama/kepercayaan di sekolah yang terdapat perbedaan agama dan kepercayaan yang dianut oleh siswanya; Islam, Kristen, Konghucu, Budha, Hindu misalnya. Keberagaman ini dapat menjadi potensi kemajuan sekaligus potensi permusuhan. Sang guru tentunya dapat memaksimalisasi potensi kemajuan dan meminimalisasi potensi permusuhan. Bagaimana pun perbedaan ini adalah sebuah kenyataan sosial, jika tidak pandai mensikapinya dapat mengancam keutuhan persaudaraan setanah air.
Kekayaan perbedaan agama dan kepercayaan dapat menjadi bahan untuk saling belajar tentang perbandingan agama; yang dibandingkan sejarah kelahiran agama, persamaan dan perbedaannya, misalnya. Berbagi rasa beragama tentang spiritualitas agama dapat membangun solidaritas kemanusiaan untuk bekerja sama membangun dunia yang lebih baik.
Teks-teks keagamaan seperti kitab suci, banyak memuat ajaran agama berupa perintah, anjuran dan larangan. Dalam waktu yang sangat terbatas 2 jam per minggu, tentu saja ada upaya pemilahan, pemilihan dan penundaan ajaran yang disampaikan. Upaya inilah yang menjadi ’perebutan kepentingan’ politik pendidikan. Mengapa tema A ada di kurikulum dan mengapa Tema B, tidak ada di kurikulum? Mengapa tema C di kelas 1 dan mengapa tema D di kelas 3? Pertanyaan ini bagian dari pergulatan proses pembuatan kurikulum.
Dengan diberlakukannya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), membuka ruang yang cukup luas bagi guru untuk melakukan penafsiran dan pengayaan materi, meskipun yang membuat soal semester tetap bukan dirinya sendiri. Ruang kreativitas guru pun perlu dirangsang dan difasilitasi oleh pihak manajemen sekolah dan pemerintah. Dalam hal-hal tertentu, kreativitas memerlukan bahan yang sedikit banyak membutuhkan dana. Pihak sekolah atau pemerintah perlu menyediakan dana dan penghargaan bagi guru-guru yang kreatif. Guru kreatif akan melahirkan siswa yang kreatif dan guru yang cerdas akan melahirkan siswa yang cerdas. Guru kreatif dan cerdas ini perlu banyak dilahirkan dengan penciptaan sistem, situasi dan kondisi yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan guru yang kreatif dan cerdas. Peningkatan kesejahteraan guru, kualitas kualifikasi dan kompetensi dan karier dipandang dapat mengembangkan kreativitas guru.*** (M. Ayi Fahmi Karim Guru PAI di SLTP Pabuaran, Subang, Jawa Barat)
1 komentar:
If you would like an alternative to casually dating girls and trying to find out the right thing to say...
If you would prefer to have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in crowded pubs and restaurants...
Then I urge you to play this short video to discover a strong secret that has the potential to get you your personal harem of hot women:
FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM...
Posting Komentar