Model Belajar Kreatif
Belajar adalah sebagai sesuatu perubahan tingkah laku yang relatif tetap, yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Belajar kreatif berhubungan erat dengan penghayatan terhadap pengalaman belajar yang sangat menyenangkan, yang dijalaninya melalui tahapan-tahapan kreativitas. Untuk itu perlu ditumbuhkan iklim kelas yang menghargai dan memupuk kreativitas dalam semua segi. Tidak cukup menyediakan waktu 30 menit sehari untuk kreativitas; hal ini tidak akan meningkatkan kemampuan kreatif siswa. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan ini.
Sebagai contoh misalnya materi pelajaran khutbah jum’at dan dakwah,[1] setelah siswa diajarkan didalam kelas tentang tata cara khutbah dan dakwah, siswa kemudian hari-harinya dibimbing untuk berani berpidato dihadapan kawan-kawan atau bahkan diadakan lomba dakwah atau khutbah jum’at. Sehingga dengan begitu siswa memiliki keberanian untuk berdakwah atau khutbah.
Model Treffinger untuk belajar kreatif menggambarkan susunan tiga tingkat yang mulai dengan unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berpikir kreatif yang lebih majemuk seperti dalam model pengayaan Renzulli (Renzulli, 1977, dikutip parke), siswa terlibat dalam kegiatan membangun keterampilan pada kedua tingkat pertama untuk kemudian menangani masalah kehidupan nyata pada tingkat ketiga. Model Treffinger terdiri dari langkah-langkah berikut: Basic Tools, Practice With Process, dan Woth Real Problems.
Tingkat I adalah Basic Tools, yaitu teknik-teknik kreativitas, tingkat I yang meliputi keterampilan berpikir devergen dan teknik-teknik keterampilan dan teknik-teknik ini menggambarkan kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain.
Tingkat II adalah Prectice With Process yaitu teknik-teknik kreativitas tingkat II yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat I dalam situasi praktis. Untuk tujuan ini digunakan strategi seperti bermain peran, simulasi dan studi kasus. Kemahiran dalam berpikir kreatif menuntut siswa memiliki keterampilan untuk melakukan fungsi-fungsi seperti analisis, evaluasi, imajinasi dan fantasi.
Tingkat III adalah Working With Real Problem, yaitu teknik-teknik kreatif tingkat III yang menerapkan keterampilan yang dipelajari pada dua tingkat pertama terdapat tantangan dunia nyata, siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir kreatif, tetapi juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan.[3]
Guru yang berpengalaman dan kreatif akan mendorong siswa untuk mempelajari sesuatu diluar kemampuannya dan tidak akan memberi pengetahuan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Dalam hal ini seorang guru harus mempunyai kreativitas dengan menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai taraf perkembangan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Syamsuri, Pendidikan Agama Islam SMA, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 188.
[2] Depdiknas KLATEN dalam Utami Munandar, LKS Menjadikan Guru Tidak Kreatif, (online), http://www.plbjabar.com/old/?inc=artikel &=56, diakses 11 Juli 2010
[3] Muhammad Kosi dalam Guilford, Mempertegas Peran PAI di Sekolah, (online) http:// estib3.blogspot.com/2009/08/guru-kreatif.html,diakses 12 Juli 2010.
1 komentar:
If you'd like an alternative to randomly flirting with girls and trying to figure out the right thing to do...
If you'd prefer to have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in filthy pubs and night clubs...
Then I encourage you to view this short video to find out a weird secret that has the potential to get you your own harem of sexy women just 24 hours from now:
FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM!!!
Posting Komentar