Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester VI
Mata Kuliah Ilmu Jiwa Agama (IJA)
Dosen Pengampu: Drs. H. A. Rif’an, M.PdI.
Oleh: Ahmad Saefudin
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama yang sumbernya pada nilai-nilai Qur’an semakin diperlukan oleh anak-anak kita, untuk mempersiapkan masa depannya yang lebih maju, kompleks, canggih, dan penuh tantangan. Mengapa anak-anak? Apakah orang dewasa tidak lagi membutuhkan pendidikan Agama wa bil khusus pendidikan Agama Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sejenak berpaling pada pendapat Benyamin Spock yang mengatakan bahwa usia 0-12 tahun merupakan masa emas anak untuk dirangsang intelektual dan kreativitasnya, karena 80% perkembangan anak ditentukan pada usia tersebut. Hal ini sekali lagi bukan berarti kita menafikan keekfetifan pendidikan Agama Islam pada usia dewasa. Bukankah penyair Arab telah bersenandung, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di masa dewasa ibarat mengukir di atas air? Rasulullah sendiri telah berstatemen melalui sabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah; “Didiklah anak-anak kalian dan buatlah pendidikan mereka itu menjadi baik”.
Dari latar belakang ini, jelas bahwa penanaman pendidikan Agama Islam sangat efektif jika dilakukan pada usia anak-anak sehingga dewasa nanti akan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari (pembiasaan).
B. Pembatasan Masalah
Sebagai antisipasi penulis agar pembaca tidak mengalami ambigu dan supaya pembahasan lebih fokus, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Pendidikan : memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir. Dengan menarik lebih dalam, maka makna pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang dalam mendewasakan manusia.
2. Agama : sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu.
3. Islam : agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’anyang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
4. Penanaman : berasal dari kata dasar tanam yang berarti menaburkan paham atau ajaran.
5. Pembiasaan : melakukan sesuatu seperti yang sudah-sudah.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain:
1. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai?
2. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan?
D. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai.
2. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan.
3. Sebagai pemenuhan tugas semester VI mata kuliah Ilmu Jiwa Agama yang diampu oleh Drs. H. A. Rif’an, M.PdI.
A. Pendidikan Agama Islam dengan Penanaman Nilai
Anak-anak dengan segala potensi yang terpendam, perlu kita poles supaya benar-benar terbentuk kepribadian yang luhur. Konsep John Locke tentang tabularasa nya menggambarkan bahwa anak akan baik atau buruk tergantung lingkungan terdekatnya. Bisa jadi, orang tua, keluarga, atau masyarakat sekitar. Anak dianggap sebagai barang pasif yang tak punya kekuatan sehingga hanya bisa menerima apapun yang datang dari luar dirinya.
Berbeda dengan John Locke, Nabi Muhammad SAW mempunyai konsep bahwa anak yang lahir di dunia ini sudah membawa bekal dan potensi yang populer dengan istilah fitrah. Orang tua hanya meneruskan dan mengelola potensi ini.
Dari dua pandangan tokoh di atas, bisa kita tarik benang merah yaitu faktor penting lingkungan keluarga terutama orang tua dalam mendewasakan anak-anak mereka. Masa inilah yang seharusnya dimanfaatkan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Agama Islam.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Zakiah Darajat (1996) yang mengatakan bahwa “apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak benar, maka ketika menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat dia dewasa akan semakin merasakan kebutuhannya kepada agama”.
Kemudian bagaimana cara kita menanamkan pendidikan nilai pada anak-anak kita? Tentu saja jawabannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi juga bukan mustahil ketika kita mau mengusahakan dan melihat apa yang telah dituturkan oleh Trimo, S.Pd.,M.Pd dengan analisisnya; “setidaknya ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni (1) Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutnya dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
(1) Tahap “premoral” atau “preconventional”.
Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
(2) Tahap “conventional”.
Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
(3) Tahap “autonomous”.
Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut:
Langkah Analisis Nilai Tugas Penyelesaian Masalah
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.Mengumpulkan fakta yang berhubungan Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan.
2. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
3. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
4. Merumuskan keputusan moral sementara Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
5. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini berpandangan bahwa isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini.
Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:
Pertama : Memilih
1. Dengan bebas.
2. Dari berbagai alternatif.
3. Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.
Kedua : Menghargai
4. Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya.
5. Mau mengakui pilihannya itu di depan umum.
Ketiga : Bertindak
6. Berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya.
7. Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978).
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
B. Pendidikan Agama Islam dengan Pembiasaan.
Witeng tresno jalaran soko kulino. Demikian cetusan pepatah Jawa ini kerap menjadi pedoman bagi kita. Apapun pendidikan yang kita peroleh dan dari mana pun ilmu yang selama ini kita dapat, semuanya tiada guna jika tidak terbiasa untuk diimplementasikan. Al Ghazali dalam Ayyuhal Walad berkata bahwa inti sari dari ilmu adalah untuk diamalkan.
Lagi-lagi, peran orang tua sebagai lingkungan terdekat sangat mempengaruhi pembiasaan anak-anaknya dalam mengejawantahkan apapun yang telah ia dapat dari luar. Pembiasaan-pembiasaan perilaku seperti melaksanakan nilai-nilai ajaran agama Islam (beribadah), membina hubungan atau interaksi yang harmonis dalam keluarga, memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan nasehat merupakan hal yang senantiasa harus dilakukan oleh orang tua agar perilaku remaja yang menyimpang dapat dikendalikan.
An-Nahlawi (Dahlan : 1992) menyatakan bahwa metode pendidikan dan pembinaan akhlak yang perlu diterapkan oleh orang tua dalam kehidupan keluarga adalah sebagai berikut :
1. Metode hiwar (percakapan)
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
Selain Al-Nahlawi, pakar pendidikan lain seperti Al-Ghazali juga menjelaskan (Abul Quasem : 1988) bahwa perubahan dan peningkatan akhlak dapat dicapai sepanjang melalui usaha dan latihan moral yang sesuai, untuk itu maka dalam mewujudkan akhlak yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu pengalaman (al-tajribah) dan latihan diri (riyadhah).
Secara teknis peran orang tua dalam membiasakan pendidikan Agama Islam di antaranya:
1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diperintahkan dalam ajaran agama Islam. Dalam hal ini orang tua harus menjadi contoh yang baik dengan memberikan bimbingan, arahan, serta pengawasan sehingga dengan kondisi seperti ini remaja menjadi terbiasa berakhlak baik.
2. Meningkatkan interaksi melalui komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini dituntut untuk dapat berperan sebagai motivator dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang positif yang dimiliki remaja sehingga perilaku atau akhlak remaja tidak menyimpang dari norma-norma baik norma agama, norma hukum maupun norma kesusilaan.
3. Meningkatkan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tua dalam melaksanakan seluruh fungsi keluarganya baik fungsi agama, fungsi pendidikan, fungsi keamanan, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial harus dilandasi dengan penanaman disiplin yang terkendali agar dapat mengendalikan akhlak atau perilaku.
Agama Islam sebagai sumber nilai akhlak harus dijadikan landasan oleh orang tua dalam membina akhlak karena agama merupakan pedoman hidup serta memberikan landasan yang kuat bagi diri. Di samping itu pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orang tua sehari-hari seperti sholat, membaca Al-Qur’an, menjalankan puasa serta berperilaku baik merupakan bagian penting dalam pembentukan dan pembinaan akhlak.
A. Kesimpulan
Setelah melalui berbagai pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:
1. Pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai menggunakan beberapa pendekatan, yaitu melalui: (1) Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
2. Metode Pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dapat dilakukan dengan cara:
1. Metode hiwar (percakapan).
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan :
a. Dalam mewujudkan pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan hendaknya dimaksimalkan oleh orang tua (lingkungan keluarga) dengan berbagai pendekatan yang ada.
b. Orang tua (keluarga) tak henti-hentinya meningkatkan pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dengan berbagai metode.
C. Kata Penutup
Demikian makalah ini dibuat. Semoga bisa menjadi tambahan wacana bagi kita terkait tentang pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan. Segala manfaat yang terserap semata hanya karena ridho-Nya, sedangkan kekhilafan yang ada murni hadir dari penulis. Saran krituk senantiasa terbuka sebagai acuan perbaikan tulisan ini. Terima kasih.
Asfandiyar, Andi Yudha, Pendidikan Qur’ani Senantiasa Berpihak pada Anak, (http://keyanaku.blogspot.com).
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: KARYA AGUNG, 2005.
Kania, Ikeu, Peranan Keluarga dalam Membina Akhlak Remaja, (http//friendster.com).
Trimo, Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan, (http://re-searchengines.com/0807trimo.html).
Mata Kuliah Ilmu Jiwa Agama (IJA)
Dosen Pengampu: Drs. H. A. Rif’an, M.PdI.
Oleh: Ahmad Saefudin
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama yang sumbernya pada nilai-nilai Qur’an semakin diperlukan oleh anak-anak kita, untuk mempersiapkan masa depannya yang lebih maju, kompleks, canggih, dan penuh tantangan. Mengapa anak-anak? Apakah orang dewasa tidak lagi membutuhkan pendidikan Agama wa bil khusus pendidikan Agama Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sejenak berpaling pada pendapat Benyamin Spock yang mengatakan bahwa usia 0-12 tahun merupakan masa emas anak untuk dirangsang intelektual dan kreativitasnya, karena 80% perkembangan anak ditentukan pada usia tersebut. Hal ini sekali lagi bukan berarti kita menafikan keekfetifan pendidikan Agama Islam pada usia dewasa. Bukankah penyair Arab telah bersenandung, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di masa dewasa ibarat mengukir di atas air? Rasulullah sendiri telah berstatemen melalui sabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah; “Didiklah anak-anak kalian dan buatlah pendidikan mereka itu menjadi baik”.
Dari latar belakang ini, jelas bahwa penanaman pendidikan Agama Islam sangat efektif jika dilakukan pada usia anak-anak sehingga dewasa nanti akan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari (pembiasaan).
B. Pembatasan Masalah
Sebagai antisipasi penulis agar pembaca tidak mengalami ambigu dan supaya pembahasan lebih fokus, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Pendidikan : memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir. Dengan menarik lebih dalam, maka makna pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang dalam mendewasakan manusia.
2. Agama : sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu.
3. Islam : agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’anyang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
4. Penanaman : berasal dari kata dasar tanam yang berarti menaburkan paham atau ajaran.
5. Pembiasaan : melakukan sesuatu seperti yang sudah-sudah.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain:
1. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai?
2. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan?
D. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai.
2. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan.
3. Sebagai pemenuhan tugas semester VI mata kuliah Ilmu Jiwa Agama yang diampu oleh Drs. H. A. Rif’an, M.PdI.
BAB II
ISI
ISI
A. Pendidikan Agama Islam dengan Penanaman Nilai
Anak-anak dengan segala potensi yang terpendam, perlu kita poles supaya benar-benar terbentuk kepribadian yang luhur. Konsep John Locke tentang tabularasa nya menggambarkan bahwa anak akan baik atau buruk tergantung lingkungan terdekatnya. Bisa jadi, orang tua, keluarga, atau masyarakat sekitar. Anak dianggap sebagai barang pasif yang tak punya kekuatan sehingga hanya bisa menerima apapun yang datang dari luar dirinya.
Berbeda dengan John Locke, Nabi Muhammad SAW mempunyai konsep bahwa anak yang lahir di dunia ini sudah membawa bekal dan potensi yang populer dengan istilah fitrah. Orang tua hanya meneruskan dan mengelola potensi ini.
Dari dua pandangan tokoh di atas, bisa kita tarik benang merah yaitu faktor penting lingkungan keluarga terutama orang tua dalam mendewasakan anak-anak mereka. Masa inilah yang seharusnya dimanfaatkan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Agama Islam.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Zakiah Darajat (1996) yang mengatakan bahwa “apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak benar, maka ketika menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat dia dewasa akan semakin merasakan kebutuhannya kepada agama”.
Kemudian bagaimana cara kita menanamkan pendidikan nilai pada anak-anak kita? Tentu saja jawabannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi juga bukan mustahil ketika kita mau mengusahakan dan melihat apa yang telah dituturkan oleh Trimo, S.Pd.,M.Pd dengan analisisnya; “setidaknya ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni (1) Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutnya dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
(1) Tahap “premoral” atau “preconventional”.
Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
(2) Tahap “conventional”.
Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
(3) Tahap “autonomous”.
Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut:
Langkah Analisis Nilai Tugas Penyelesaian Masalah
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.Mengumpulkan fakta yang berhubungan Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan.
2. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
3. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
4. Merumuskan keputusan moral sementara Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
5. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini berpandangan bahwa isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini.
Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:
Pertama : Memilih
1. Dengan bebas.
2. Dari berbagai alternatif.
3. Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.
Kedua : Menghargai
4. Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya.
5. Mau mengakui pilihannya itu di depan umum.
Ketiga : Bertindak
6. Berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya.
7. Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978).
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
B. Pendidikan Agama Islam dengan Pembiasaan.
Witeng tresno jalaran soko kulino. Demikian cetusan pepatah Jawa ini kerap menjadi pedoman bagi kita. Apapun pendidikan yang kita peroleh dan dari mana pun ilmu yang selama ini kita dapat, semuanya tiada guna jika tidak terbiasa untuk diimplementasikan. Al Ghazali dalam Ayyuhal Walad berkata bahwa inti sari dari ilmu adalah untuk diamalkan.
Lagi-lagi, peran orang tua sebagai lingkungan terdekat sangat mempengaruhi pembiasaan anak-anaknya dalam mengejawantahkan apapun yang telah ia dapat dari luar. Pembiasaan-pembiasaan perilaku seperti melaksanakan nilai-nilai ajaran agama Islam (beribadah), membina hubungan atau interaksi yang harmonis dalam keluarga, memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan nasehat merupakan hal yang senantiasa harus dilakukan oleh orang tua agar perilaku remaja yang menyimpang dapat dikendalikan.
An-Nahlawi (Dahlan : 1992) menyatakan bahwa metode pendidikan dan pembinaan akhlak yang perlu diterapkan oleh orang tua dalam kehidupan keluarga adalah sebagai berikut :
1. Metode hiwar (percakapan)
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
Selain Al-Nahlawi, pakar pendidikan lain seperti Al-Ghazali juga menjelaskan (Abul Quasem : 1988) bahwa perubahan dan peningkatan akhlak dapat dicapai sepanjang melalui usaha dan latihan moral yang sesuai, untuk itu maka dalam mewujudkan akhlak yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu pengalaman (al-tajribah) dan latihan diri (riyadhah).
Secara teknis peran orang tua dalam membiasakan pendidikan Agama Islam di antaranya:
1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diperintahkan dalam ajaran agama Islam. Dalam hal ini orang tua harus menjadi contoh yang baik dengan memberikan bimbingan, arahan, serta pengawasan sehingga dengan kondisi seperti ini remaja menjadi terbiasa berakhlak baik.
2. Meningkatkan interaksi melalui komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini dituntut untuk dapat berperan sebagai motivator dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang positif yang dimiliki remaja sehingga perilaku atau akhlak remaja tidak menyimpang dari norma-norma baik norma agama, norma hukum maupun norma kesusilaan.
3. Meningkatkan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tua dalam melaksanakan seluruh fungsi keluarganya baik fungsi agama, fungsi pendidikan, fungsi keamanan, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial harus dilandasi dengan penanaman disiplin yang terkendali agar dapat mengendalikan akhlak atau perilaku.
Agama Islam sebagai sumber nilai akhlak harus dijadikan landasan oleh orang tua dalam membina akhlak karena agama merupakan pedoman hidup serta memberikan landasan yang kuat bagi diri. Di samping itu pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orang tua sehari-hari seperti sholat, membaca Al-Qur’an, menjalankan puasa serta berperilaku baik merupakan bagian penting dalam pembentukan dan pembinaan akhlak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui berbagai pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:
1. Pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai menggunakan beberapa pendekatan, yaitu melalui: (1) Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
2. Metode Pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dapat dilakukan dengan cara:
1. Metode hiwar (percakapan).
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan :
a. Dalam mewujudkan pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan hendaknya dimaksimalkan oleh orang tua (lingkungan keluarga) dengan berbagai pendekatan yang ada.
b. Orang tua (keluarga) tak henti-hentinya meningkatkan pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dengan berbagai metode.
C. Kata Penutup
Demikian makalah ini dibuat. Semoga bisa menjadi tambahan wacana bagi kita terkait tentang pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan. Segala manfaat yang terserap semata hanya karena ridho-Nya, sedangkan kekhilafan yang ada murni hadir dari penulis. Saran krituk senantiasa terbuka sebagai acuan perbaikan tulisan ini. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Yudha, Pendidikan Qur’ani Senantiasa Berpihak pada Anak, (http://keyanaku.blogspot.com).
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: KARYA AGUNG, 2005.
Kania, Ikeu, Peranan Keluarga dalam Membina Akhlak Remaja, (http//friendster.com).
Trimo, Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan, (http://re-searchengines.com/0807trimo.html).
2 komentar:
If you'd like an alternative to casually approaching girls and trying to find out the right thing to do...
If you would rather have women pick YOU, instead of spending your nights prowling around in noisy pubs and night clubs...
Then I encourage you to watch this eye-opening video to find out a strong secret that has the potential to get you your personal harem of beautiful women just 24 hours from now:
FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM!!!
sangat menarik untuk dibaca bagus sekali
cari mobil bekas di medan
Posting Komentar