Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosio kultural yang ada di masing-masing negara.

Dilihat dari sejarah perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Di Amerika Utara misalnya, bahwa nasionalisme lahir karena perluasan dibidang perdagangan kira-kira pada 1000. Ada pula yang berpendapat bahwa manifestasi nasionalisme muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Namun dari beberapa pendapat tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa munculnya nasionalisme berawal dari Barat (yang diistilahkan oleh Soekarno sebagai nasionalisme Barat) yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan. Dengan kalimat lain bahwa, “As a historical symptom, nationalism emerged as the response to a political, economic, social, and cultural context, particularly the one brought on by colonialism”. Yaitu sebagai gejala historis, munculnya nasionalisme merupakan respon terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama respon terhadap penjajahan.
Di Indonesia, gerakan nasionalisme mulai bangkit pada tahun 1908 yang ditandai dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo”. Hal ini serupa dengan yang ditulis oleh Charles Wolf. Jr., yaitu: The formal nationalist movement in the Indies began in Java in 1908 with the organization of the Boedi Oetomo. Namun bentuk nasionalisme yang berkembang pada saat itu kebanyakan masih bersifat kedaerahan kelompok, belum pada tataran kenegaraan.
Seperti halnya Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan wilayah Timur menurut pandangan Partha Chatterjee bahwa dalam hal pemikiran maupun gagasan kaum nasionalis tetap mengadopsi pemikiran Barat dalam usaha menemukan ideologi pasca kemerdekaan, yaitu nasionalisme yang bersifat antikolonialisme. Nasionalisme antikolonialisme memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Kendati demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda dari Barat.
Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur. Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.

Selain itu, menurut kacamata keagamaan, Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam memiliki cara pandang tersendiri. Sebagaimana kaum nasionalis muslim yang bergerak dan bersatu dalam ruang organisasi keislaman berupa Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Pada dasarnya, pemikiran maupun pergerakan mereka adalah mencoba mengapilkasikan pemikiran yang bersumber pada Islam yaitu Alquran dan Hadits yang notabene menyeru pada persatuan dan anti bercerai berai antar umat manusia. Dalam Islam, kebangsaan atau cinta tanah air adalah merupakan sebagian dari Iman, sebagaimana doktrin hubbul wathan minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman). Sebagai kepercayaan, Islam menentang semangat memusuhi bangsa lain, dan sikap yang demikian ini merupakan ciri nasionalisme. Bukan tanpa alasan mengapa Tjokroaminoto maupun nasionalis muslim lain berkeyakinan dan berprinsip demikian, karena jauh sebelum nasionalisme menggapai bumi Indonesia, di beberapa negara Islam nasionalisme sudah terlebih dulu diterapkan.
Dalam perkembangannya, nasionalisme yang muncul secara tidak langsung mengilhami bentuk-bentuk ideologi sekaligus dijadikan sebagai falsafah kenegaraan. Sehingga cinta tanah air tidak hanya sebatas merebut dan mempertahankan kemerdekaan melainkan juga mempunyai banyak nilai – nilai luhur ynag bernilai pendidikan. Dengan adanya akar nasionalisme sebagai rasa cinta tanah air, maka disitu pula akan tumbuh sikap patriotisme, rasa kebersamaan, kebebasan, kemanusiaan dan sebagainya. Karena nasionalisme dibangun oleh kesadaran sejarah, cinta tanah air, dan cita-cita politik. Nasionalisme menjadi faktor penentu yang mengikat semangat serta loyalitas untuk mewujudkan cita-cita setiap negara.
Decki Natalis Pigay Bik, Evolusi Nasionalisme Dan Sejarah Konflik Politik Di Papua,( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2002)
Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid11,op.cit
Fuad Jabali And Ismatu Ropi(ed), Islam And Islam Formation In Indonesia From Communicatarian To Organizational Communications,( Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2000)
Charles Wolf Jr. The Indonesian Story( The Birth, Growth And Structure Of The Indonesian Republic),( New York: The John Day Company, 1948)
Hazem Zaki Nusaibeh, Gagasan – Gagasan Nasionalisme Arab,( Jakarta: Bhratara, 1969)
John l. Esposito, Islam Dan Politik, ( Jakarta: Bulan Bintang,1990)
Dwi purwoko,(eds), Negara Islam(?), Jakarta: PT. Permata Artitika Kreasi, 2001)
Related Post:
Ilmu Sejarah
Ilmu Pendidikan
- PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENANAMAN NILAI DAN PEMBIASAAN
- NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM ISLAM
- KONTRIBUSI ISLAM ATAS DUNIA BARAT
- Hubungan Kreativitas dengan Prestasi Belajar Agama Islam
- Memilih Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
- Berbagai Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
- Model Belajar Kreatif
- KREATIVITAS GURU DALAM PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM
- Tujuan Pendidikan Agama Islam Di SMA
- Ruang Lingkup dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
- Kreativitas Guru dalam Pengembangan Media Pembelajaran PAI
- Pengembangan Media Pembelajaran
- Tehnik Memilih Media Pembelajaran
- Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
- Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
- Konsep Dasar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
- MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
- SKRIPSI INISIATIF GURU AGAMA DALAM MENUMBUHKAN KREATIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
- Pengertian dan Prinsip Pembelajaran
- Tujuan Pendidikan Agama Islam
- Studi Islam
- STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SISWA DENGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
- Pendidikan Islam
- Sejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman modern
0 komentar:
Posting Komentar